Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia
usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha
meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang
efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi
kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan
berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the 1980s.“
Walaupun banyak pro kontra yang menyertai pemberlakuan sistem tersebut,
sistem kontrak dan outsourcing sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam
sejarah perburuhan, praktek-praktek seperti itu sudah ada sejak dulu.
Hanya saja, seiring perkembangan dan pembaharuan model-model akumulasi
modal, outsourcing dan sistem kontrak kemudian dilegalkan.
Pada masa pendudukan Belanda, sistem kontrak dan outsourcing sudah
diperkenalkan pada warga bumiputra. Seiring maraknya sistem tanam paksa
(monokultur) seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879,
pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat program besar-besaran dalam
upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah
satu upayanya adalah membuka investasi di sektor perkebunan di daerah
Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda
dalam peraturan Np. 138 tentang Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut
kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.
Peraturan tersebut dikeluarkan dengan maksud mulia untuk menciptakan
iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para
penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian mampu mendorong laju
investasi sektor perkebunan tembakau di Deli. Sesuai regulasi yang sudah
dikeluarkan di mana mengatur tentang ketentuan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah
organisasi yang diberi nama Deli Planters Vereeniging. Organisasi
tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang
murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan
sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah
secara besar-besaran terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah,
para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum bumi
putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka
kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib menandatangani
perjanjian kontrak yang yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie.
Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli
orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang
bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapatkan upah
sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada
umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi
dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor
kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten
pengawas. Para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada
administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur
bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang
memiliki perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan
paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu
para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan
pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli
jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama
onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama
mandor dan nama mandor kepalanya.
Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya
dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya
saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung
juga melakukan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang
seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya
pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu
seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja
selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.
Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar abad XIX,
sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli)
pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif,
aktivis Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan
Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai animer.
Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat.
Secara getok-tular, dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan
Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di
kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi
ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh uang dari upah memburuh.
Bagaimana sistem kontrak dan outsourcing berjalan dewasa
ini? Sistem kontrak dan outsourcing telah diatur dalam UU tentang
Ketenagakerjaan No 13 tahun 2007. Keberadaan undang-undang tersebut tak
lepas dari upaya pemerintah untuk menarik investasi ke Indonesia
sehingga dengan itu, lapangan kerja bertambah dan mampu menyerap
pengangguran. Dengan demikian diharapkan bisa menekan angka kemiskinan
dan memacu angka pertumbuhan ekonomi negara. Dalam regulasi tersebut,
kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh
perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga
kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain
harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan
mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa
menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan
tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target
produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu,
baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab
akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak
lagi mempunyai hubungan secara langsung.
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia,
membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam
draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan,
karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan
dengan tenaga kerja (http://www.blogger.com/)..
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan
outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan
diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing
(Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang
menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri
dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64
dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
1. penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
2. pekerjaan yang diserahkan pada
pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :- dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama;- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan;- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
3. perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
4. perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundangan (ayat 4);
5. perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
6. hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
7. hubungan kerja antara perusahaan
lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu
tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
8. bila beberapa syarat tidak
terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan
pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu
harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Dari pasal 64 UU NO. 13 TAHUN 2003, hubungan antara pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh ada pada perjanjian
secara tertulis yang berisi syarat dan ketentuan serta
pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh pemberi pekerjaan kepada
penyedia pekerja / buruh. Sedangkan hubungan antara perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh dengan pekerja / buruh adalah pada
perjanjian kerja yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dengan
penyedia pekerja / buruh. Dalam hal ini, perjanjian kerja bisa berupa
perjanjian kerja waktu terbatas (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tak
terbatas (PKWTT).
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan di mana
perjanjian kerja antara keduanya berlaku hanya sampai batas waktu yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Ketentuan-ketentuan PKWT adalah
:
- PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin
- PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, apabila dalam PKWT disyaratkan masa percobaan kerja maka masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
- Dibuat untuk jenis pekerjaan tertentu yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya sekali selesai atau sifatnya sementara dan diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersfat musiman; pekerjaan menyangkut produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya terus-menerus dapat diperpanjang atau diperbaharui.
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan di mana
perjanjian kerja antara keduanya berlaku tidak dibatasi waktu, namun
bisa saja perjanjian tersebut tidak berlaku jika memenuhi ketentuan yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi pekerja atau buruh yang
bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bisa merupakan
karyawan tetap (PKWTT) ataupun karyawan kontrak (PKWT) dari perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh. Hubungan antara pemberi pekerjaan,
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dan pekerja / buruh. dapat
digambarkan sebagai berikut :
/ buruh dan pekerja / buruh
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (http://www.blogger.com).
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain:
- adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
- perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
- perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi
(kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business)
dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai
Dasar Pelaksanaan Outsourcing. Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003
outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan
bahwa “Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara
usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok
antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di
outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core
business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak
semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi
masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat
dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan
industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang
sama mengenai istilah-istilah tersebut.”
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan
undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan
jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13
tahun 2003, disebutkan bahwa ”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat
terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana
penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini
kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core
business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep
yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran
kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian
yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :
- Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
- Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
- Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
- Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam
penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama,
dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa
pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah
tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk
alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif
untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar,
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan
kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia
seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi
mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku
cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah
pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan
diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan
mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan
pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia,
perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk
tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya
sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang
didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan
pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh
berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini
belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan
outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama
dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian
melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
- Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
- Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
- Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan
pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian
tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus
memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320
KUH Perdata, yaitu:
- Sepakat, bagi para pihak;
- Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya
mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH
Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam penyediaan jasa pekerja,
ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
- Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan
pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada
perusahaan penyedia pekerja/buruh.
- perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut : - adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
- perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
- perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka
walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan
namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja.
Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan
outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan
perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian
kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa
outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa
outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan
outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja
antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja
yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel
bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya
yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi
berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment,
karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan
pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan
outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka
berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan
karyawannya.
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya)
dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan
menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan
pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada
perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya)
menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih
Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja
tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di
perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan
hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada
perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan
Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada
perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak
ada hubungan kerja antara keduanya. Hal yang mendasari mengapa karyawan
outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi
kerja adalah :
- Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
- Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
- Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
- Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
- Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna
jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya)
karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah
hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan
outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya)
menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan
pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan
pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja
harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna
outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing
dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang
ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama
ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum
dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak
diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara
karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna
outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang
disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing
oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan
tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan
tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya
informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan
pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT
Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana
karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk
rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra
Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status
hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan
pengguna outsourcing.
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai
potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran
peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara
karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2)
huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun
yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan
pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut
adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa
menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir
kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat
perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih
mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource
itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim
pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa
pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja
karyawan bisa terpantau dengan baik.
Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
- Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner outsourcing.
- Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga mereka memiliki kepastian hukum.
- Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan- ketentuan yang berlaku. Akibat yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang menuntut hak-haknya. Hal ini menjadi salah satu perhatian bagi investor asing untuk mendirikan usaha di Indonesia.
- Perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga,
yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing Banyak Disalahgunakan”, http://www.fpks-dpr.or.id/)
Dengan melihat alasan menggunakan outsourcing, faktor-faktor pemilihan
perusahaan penyedia jasa outsourcing, serta kepuasan perusahaan terhadap
tenaga outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga
outsource dinilai efektif dan akan terus menggunakan outsourcing dalam
kegiatan operasionalnya. Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya:
- Komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau permasalahan yang terjadi.
- Tenaga outsource telah di training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan.
- Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yang ditulis secara detail dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya.
Sumber
http://bashirudin.blogspot.com/2010/02/outsourcing-pro-kontra-dan-sejarah.html