Tampilkan postingan dengan label BURUH OOH.. BURUH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BURUH OOH.. BURUH. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 19 Oktober 2013
Sabtu, 21 September 2013
Upah Minimum Provinsi se-Indonesia Tahun 2013
Ternyata sebagia dari kita banyak yang belum mengetahui akan hal ini dan penting untuk diketahui, simak ulasan berikut :
Sebelum menetapkan Upah Minimum Propinsi, Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi akan melakukan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan melihat komponen kebutuhan hidup apa saja yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme standarisasi KHL hingga terbentuklah menjadi Penetapan Upah Minimum.
Sebelum menetapkan Upah Minimum Propinsi, Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi akan melakukan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan melihat komponen kebutuhan hidup apa saja yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme standarisasi KHL hingga terbentuklah menjadi Penetapan Upah Minimum.
KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja / buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Sejak diundangkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4, lebih jauh mengenai ketentuan KHL, diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan Pentahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Komponen Penetapan Upah Minimum berdasarkan standar KHL yang dilakukan, terdiri dari :
- Makanan & Minuman (11 item)
- Sandang (9 item)
- Perumahan (19 item)
- Pendidikan (1 item)
- Kesehatan (3 item)
- Transportasi (1 item)
- Rekreasi dan Tabungan (2 item)
Berdasarkan hasil survey KHL tersebut, maka didapat dimana Upah Minimum = Gaji Pokok + Tunjangan Tetap, dengan ketentuan sebagai berikut :
UPAH MINIMUM = GAJI POKOK (75% dari Upah Minimum) + TUNJANGAN TETAP (25% dari Upah Minimum)
Contoh :
Upah Minimum Provinsi Jakarta 2013 sebesar Rp 2.200.000,- Apabila Anda bekerja di DKI Jakarta, perusahaan dilarang membayar pekerja tersebut dengan upah yang lebih rendah dari Rp 2.200.000,- Perusahaan juga harus memberikan Gaji Pokok sekurang-kurangnya 75% dari Rp 2.200.000,- tersebut yakni sebesar Rp 1.650.000,-
Jadi apabila Gaji keseluruhan Anda yang diterima Rp 2.500.000,- (yang notabene lebih besar dari UMP Jakarta), akan tetapi Gaji Pokok Anda hanya sebesar Rp 1.300.000,- (kurang dari 75% UMP Jakarta), maka Anda telah dibayar dibawah Upah Minimum DKI Jakarta. <-- menyedihkan sekali ;'(
Pada prakteknya dilapangan hal ini banyak terjadi, sering kali jumlah tunjangan menjadi lebih besar dari gaji pokok yang diterima oleh seorang pekerja. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan salah pengertian di dalam hubungan kerja yang akhirnya akan dapat mengganggu hubungan antara pengusaha dengan pekerja.
Karena tunjangan yang diberikan besar, maka jumlah Gaji keseluruhan (Take Home Pay) dirasa telah cukup dan melebihi Upah Minimum, padahal Upah Minimum hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja.
Waah baru tahu kan? Ternyata selama ini perusahaan telah berbuat curang dan sangat-sangat licik belum lagi dengan status yang kontrak / outsourcing dengan kata lain perusahaan tidak mau menanggung beban pesangon hanya memeras keringat pekerja, yaaa walaupun tidak semua perusahaan seperti itu haaa,, rasanya 1001. Diluar itu semua masih banyak kok perusahaan yang mensejahterakan karyawannya.
Silahkan Download UMP Tahun 2013 disini :
Salam,
KSPSI
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
Rabu, 03 Oktober 2012
Pro Kontra dan Sejarah Outsourcing *kalian perlu tau!!
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia
usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha
meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang
efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi
kontribusi maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan
berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the 1980s.“
Walaupun banyak pro kontra yang menyertai pemberlakuan sistem tersebut,
sistem kontrak dan outsourcing sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam
sejarah perburuhan, praktek-praktek seperti itu sudah ada sejak dulu.
Hanya saja, seiring perkembangan dan pembaharuan model-model akumulasi
modal, outsourcing dan sistem kontrak kemudian dilegalkan.
Pada masa pendudukan Belanda, sistem kontrak dan outsourcing sudah
diperkenalkan pada warga bumiputra. Seiring maraknya sistem tanam paksa
(monokultur) seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879,
pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat program besar-besaran dalam
upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah
satu upayanya adalah membuka investasi di sektor perkebunan di daerah
Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda
dalam peraturan Np. 138 tentang Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut
kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.
Peraturan tersebut dikeluarkan dengan maksud mulia untuk menciptakan
iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para
penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian mampu mendorong laju
investasi sektor perkebunan tembakau di Deli. Sesuai regulasi yang sudah
dikeluarkan di mana mengatur tentang ketentuan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah
organisasi yang diberi nama Deli Planters Vereeniging. Organisasi
tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang
murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan
sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah
secara besar-besaran terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah,
para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum bumi
putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka
kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib menandatangani
perjanjian kontrak yang yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie.
Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli
orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang
bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapatkan upah
sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada
umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi
dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor
kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten
pengawas. Para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada
administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur
bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang
memiliki perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan
paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu
para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan
pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli
jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama
onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama
mandor dan nama mandor kepalanya.
Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya
dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya
saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung
juga melakukan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang
seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya
pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu
seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja
selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.
Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar abad XIX,
sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli)
pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif,
aktivis Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan
Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai animer.
Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat.
Secara getok-tular, dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan
Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di
kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi
ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh uang dari upah memburuh.
Bagaimana sistem kontrak dan outsourcing berjalan dewasa
ini? Sistem kontrak dan outsourcing telah diatur dalam UU tentang
Ketenagakerjaan No 13 tahun 2007. Keberadaan undang-undang tersebut tak
lepas dari upaya pemerintah untuk menarik investasi ke Indonesia
sehingga dengan itu, lapangan kerja bertambah dan mampu menyerap
pengangguran. Dengan demikian diharapkan bisa menekan angka kemiskinan
dan memacu angka pertumbuhan ekonomi negara. Dalam regulasi tersebut,
kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh
perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga
kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain
harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan
mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa
menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan
tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target
produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu,
baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab
akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak
lagi mempunyai hubungan secara langsung.
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia,
membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan
pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam
draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan,
karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan
dengan tenaga kerja (http://www.blogger.com/)..
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan
outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan
diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing
(Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang
menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri
dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64
dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
1. penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
2. pekerjaan yang diserahkan pada
pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :- dilakukan secara terpisah dari kegiatan
utama;- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan;- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
3. perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
4. perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundangan (ayat 4);
5. perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
6. hubungan kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
7. hubungan kerja antara perusahaan
lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu
tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
8. bila beberapa syarat tidak
terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan
pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu
harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Dari pasal 64 UU NO. 13 TAHUN 2003, hubungan antara pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh ada pada perjanjian
secara tertulis yang berisi syarat dan ketentuan serta
pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh pemberi pekerjaan kepada
penyedia pekerja / buruh. Sedangkan hubungan antara perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh dengan pekerja / buruh adalah pada
perjanjian kerja yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dengan
penyedia pekerja / buruh. Dalam hal ini, perjanjian kerja bisa berupa
perjanjian kerja waktu terbatas (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tak
terbatas (PKWTT).
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan di mana
perjanjian kerja antara keduanya berlaku hanya sampai batas waktu yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Ketentuan-ketentuan PKWT adalah
:
- PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin
- PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, apabila dalam PKWT disyaratkan masa percobaan kerja maka masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
- Dibuat untuk jenis pekerjaan tertentu yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya sekali selesai atau sifatnya sementara dan diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersfat musiman; pekerjaan menyangkut produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya terus-menerus dapat diperpanjang atau diperbaharui.
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan di mana
perjanjian kerja antara keduanya berlaku tidak dibatasi waktu, namun
bisa saja perjanjian tersebut tidak berlaku jika memenuhi ketentuan yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi pekerja atau buruh yang
bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bisa merupakan
karyawan tetap (PKWTT) ataupun karyawan kontrak (PKWT) dari perusahaan
penyedia jasa pekerja / buruh. Hubungan antara pemberi pekerjaan,
perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dan pekerja / buruh. dapat
digambarkan sebagai berikut :
/ buruh dan pekerja / buruh
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (http://www.blogger.com).
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain:
- adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
- perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
- perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi
(kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business)
dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai
Dasar Pelaksanaan Outsourcing. Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003
outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan
bahwa “Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara
usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok
antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di
outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core
business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak
semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi
masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat
dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan
industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang
sama mengenai istilah-istilah tersebut.”
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan
undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan
jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13
tahun 2003, disebutkan bahwa ”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business)
suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta
usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat
terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana
penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini
kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core
business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep
yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena itu tidak heran
kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian
yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :
- Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
- Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
- Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
- Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam
penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama,
dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa
pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah
tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk
alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif
untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar,
menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan
kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia
seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi
mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku
cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah
pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan
diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan
mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan
pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia,
perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk
tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya
sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang
didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan
pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh
berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini
belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan
outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama
dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian
melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
- Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
- Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
- Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan
pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian
tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus
memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320
KUH Perdata, yaitu:
- Sepakat, bagi para pihak;
- Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya
mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH
Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam penyediaan jasa pekerja,
ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
- Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan
pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada
perusahaan penyedia pekerja/buruh.
- perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut : - adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
- perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
- perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka
walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan
namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja.
Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan
outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan
perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian
kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa
outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa
outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan
outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja
antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja
yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel
bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya
yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi
berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment,
karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan
pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan
outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka
berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan
karyawannya.
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya)
dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan
menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan
pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada
perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya)
menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih
Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja
tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di
perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan
hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada
perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan
Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada
perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak
ada hubungan kerja antara keduanya. Hal yang mendasari mengapa karyawan
outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi
kerja adalah :
- Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
- Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
- Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
- Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
- Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna
jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya)
karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah
hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan
outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya)
menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan
pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan
pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja
harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna
outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing
dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang
ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama
ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum
dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak
diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara
karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna
outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang
disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing
oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan
tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan
tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya
informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan
pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT
Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana
karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk
rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra
Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status
hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan
pengguna outsourcing.
Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai
potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran
peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara
karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2)
huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun
yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan
pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut
adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa
menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir
kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat
perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih
mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource
itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim
pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa
pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja
karyawan bisa terpantau dengan baik.
Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
- Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial karena partner outsourcing harus mengetahui apa yang menjadi kebutuhan perusahaan serta menjaga hubungan baik dengan partner outsourcing.
- Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga mereka memiliki kepastian hukum.
- Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan- ketentuan yang berlaku. Akibat yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang menuntut hak-haknya. Hal ini menjadi salah satu perhatian bagi investor asing untuk mendirikan usaha di Indonesia.
- Perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan sehingga,
yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber: “Sistem Outsourcing Banyak Disalahgunakan”, http://www.fpks-dpr.or.id/)
Dengan melihat alasan menggunakan outsourcing, faktor-faktor pemilihan
perusahaan penyedia jasa outsourcing, serta kepuasan perusahaan terhadap
tenaga outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga
outsource dinilai efektif dan akan terus menggunakan outsourcing dalam
kegiatan operasionalnya. Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya:
- Komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau permasalahan yang terjadi.
- Tenaga outsource telah di training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan.
- Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yang ditulis secara detail dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya.
Sumber
http://bashirudin.blogspot.com/2010/02/outsourcing-pro-kontra-dan-sejarah.html
Muak dengan System Kerja Outsourcing/Kontrak
Praktek outsourcing di Indonesia Outsourcing
sudah banyak dipraktekan di dunia bisnis di Indonesia. Sebenarnya ide
dan konsep outsourcing sudah dimulai lama sekali, saat suatu organisasi
telah meminta suatu group di luar organisasi untuk membantu pekerjaan
yang tidak dapat diselesaikan secara internal. Penggunaan kata
“outsourcing” sendiri sudah mulai dipakai sekitar tahun 1970 di dunia
manufacturing. Sejak saat itu outsourcing mulai dikenal dan di
implementasikan secara global. Satu
sisi keberadaaan outsourcing akan sangat membantu pekerjaan perusahaan.
Diluar negeri alasan utama melakukan outsourcing adalah untuk efisiensi
biaya (yang artinya sebetulnya internal perusahaan memiliki kemampuan
akan tetapi lebih mahal jika dikerjakan sendiri). Sedangkan di dalam
negeri Alasan utama untuk melakukan outsourcing adalah karena tidak
adanya sumber daya yang mampu mengerjakan. Kondisi ini terjadi banyak
pada sektor IT. dimana beberapa perusahaan yang meng-outsource-kan
komputer desktop-nya, karena trend IT yang terus berubah dan lifecycle
product yang pendek Sektor
perbankan misalnya dengan adanya kebijakan di dunia perbankan untuk
menekan aset Bank. Banyak jasa outsourcer bermunculan misalnya, Industri
car rental ; perusahaan tidak perlu dipusingkan oleh urusan
transportasi dan services karena semuanya telah ditangani oleh Car
rental yang telah menjadi bisnis rekanan perusahaan, industri security (keamanan) perusahaan tidak dipusingkan lagi dengan urusan keamanan dan system, industri penyewaaan alat-alat kantor dan foto copy dan yang paling fenomenal adalah industri yang bergerak dibidang IT (teknologi dan informasi) Outsourcing
menjadi dewa penyelamat bagi banyak industri dan perusahan. Mengapa ?
Dengan outsourcing terjadi peningkatan produktifitas dan efficiency
perusahaan. Bagaimana caranya ? dari sisi budgeting (anggaran)
perusahaan akan lebih focus padapengunaan alokasi budget mereka, dari
sisi operational perusahaan akan lebih focus mengerjakan core business
mereka saja, dari sisi keuangan (finance) akan terjadi kemudahaan dan
penghematan karena perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan investasi
peralatan yang tidak sesuai dengan core business, biaya perawatan
(maintainance) dsb, dari sisi SDM (human resources) perusahaan tidak
lagi dipusingkan oleh rekruitmen, pelatihan dan pengembangan, bahkan
dengan mudah mem “PHK” kan buruh. Pendeknya outsourcing sangat
menguntungkan perusahaan. Bagaimana dari sisi karyawan (buruh)?, apakah buruh juga diuntungkan seperti perusahaan? Dalam
kondisi ini ternyata keuntungan buruh tidak sebanding dengan keuntungan
perusahaan. Sehingga membicarakan outsourcing menjadi fenomena yang
menarik dalam dunia bisnis. Sejak diundangkannya UU
No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan
pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource
adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Disisi yang lain teryata
outsourcing mengundang permasalahan baru yakni legal issue dimana
status dari pada karyawan kurang jelas. apakah ia karyawan dari
perusahaan itu atau ia karyawan dari perusahaan outsourcing? dan yang
selanjutnya kemana ia harus mengajukan keberatan atas tindakan yang
dilakukan oleh si employer. Dalam kondisi ini jika ada masalah buruh
akan menjadi bulan-bulanan antara si outsourcing company dan si
perusahaan. Mengapa bisa begini ? Ada
dua pandangan, pandangan pertama perusahaan merasa tidak
bertangungjawab. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh
outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini
merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara
perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang
ditempatkan pada perusahaan pengguna. Pandangan
yang kedua pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up oleh
pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan
perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. contohnya
adalah Cleaning Services, Satpam dan Pengemudi. Dalam mekanisme
outsourcing ini pemborong penyedia tenaga kerja memasok tenaga kerja
kepada perusahaan pemberi kerja berdasarkan kontrak penyediaan jasa
tenaga kerja. Kemudian Cleaning Services, Satpam, Pengemudi bekerja di
perusahaan tersebut bukan dengan penyedia jasa tenaga kerja. Yang
memberi upah, pekerjaan dan perintah bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan perusahaan pengguna Prof.Dr.
Aloysius Uwiyono, SH.,MH menyebutkan kedua pasal ini juga menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing
pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan
hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali
melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti
bahwa melalui pasal 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melegalkan bukan
sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking.
Suatu pelanggaran hak asasi manusia.
Outsourcing dan kepentingan ekonomi
Dinegara-negara
berkembang seperti Indonesia dimana pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah sedang gencar-gencarnya. Akan terjadi kondisi yang paradox,
misalnya fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan
masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis
multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh berjalan
bersamaan. Difihak lain dengan alasan menarik investor
untuk menanamkan investasinya dan mengatasi pengangguran, pemerintah
akan membuat regulasi yang cenderung untuk memihak para pelaku bisnis kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan. akhirnya tren
hukum perburuhan akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis
bukan kepada pekerja/buruh semata-mata. Dengan alasan pertumbuhan
ekonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk
melindungi pemilik modal. Hal
ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi yang
setinggi-tingginya. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan hukum
perburuhan, sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dari kedua
belah pihak. Pengusaha akan berusaha untuk tetap mempertahankan
ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing,
di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian Kerja Waktu
tertentu dan outsourcing dihapuskan. Kasus – kasus ini banyak kita lihat misalnya polemik penetapan upah minimum propinsi dimana Pengusaha
akan berusaha menekan besarnya upah minimum, di lain pihak pekerja akan
berusaha meningkatkan upah minimum., peraturan tenaga kerja dsb. Belum
lagi persolan lain akibat outsourcing, misalnya kolusi atau demi
mendapatkan komisi, perusahaan yang ditunjuk melaksanakan outsorce bukan
berdasarkan keahlian, kompetensi atau yang memperhatikan hak-hak
pekerja Alternatif Mengatasi Problem outsorcing Ada
beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam melakukan outsourcing,
agar praktek yang terjadi tidak hanya menguntungkan outsourcing company
dan perusahaan dan merugikan buruh. Pertama
sebelum menggunakan/ memakai jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing
company) harus dilihat track recordnya, apakah hak-hak normatif buruh
benar-benar diperhatikan ( dalam banyak kasus, gaji yang diberikan
kepada buruh di potong lagi oleh outsourcing company, padahal
outsourcing company telah mendapatkan komisi jasa dari perusahaan
pengguna), atau tidak melanggar hak-asasi buruh. Kedua
bagi perusahaan pengguna, pendekatan yang dilakukan sebaiknya
pendekatan kemanusian bukan pendekatan undang-undang. Perusahaan harus
menunjukkan kepeduliannya atas buruh outsourcing mereka dengan
pelaksanaan program kesejahteraan dan kesehatan sehingga menciptakan
perasaan aman dan ketenangan bagi karyawan di sebuah perusahaan. Ingat!
Walaupun bukan karyawan tetap kehadiran mereka sangat penting, misalnya
jika supir atau security atau frontliner yang bertugas tidak baik yang
rugi tentu perusahaan itu sendiri. Ketiga perbaikan regulasi oleh pemerintah, apapun problemnya pemihakan kepada pemilik modal tanpa memperhatikan hak-hak normatif buruh tak dapat dibenarkan. Mengatasi pengangguran bukan dengan cara perbudakan. Keempat,
Jadikan Serikat Buruh sebagai mitra, bukan lawan yang harus diawasi dan
dicurigai. Dengan bermitra persoalan-persoalan yang ada disekitar buruh
bisa didiskusikan dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Semoga bermanfaat.
Sumber
http://shelmi.wordpress.com/2008/03/31/praktek-outsourcing-di-indonesia/
Rabu, 28 Desember 2011
Pasal-pasal Kontroversi dalam Revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Dari 193 pasal Naskah Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat beberapa pasal kontroversi, di antaranya:
Pasal 35
(ayat 3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup- kesejahteraan, kesela-ma-tan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja
Kontroversi revisi pasal 35:
dalam revisi, ayat ini dihapus).
Pasal 59
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaan yang diperkirakan -penyelesaiannya dalam waktu -tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun-;
pekerjaan yang bersifat musi-man;
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kontroversi revisi Pasal 59
(1) yang dilakukan atas dasar jangka waktu, dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan;
(6) Dalam hal hubungan kerja diakhi-ri- sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh- melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada peng-usaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhir-nya- PKWT.
Pasal 155
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpang-an terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Kontroversi revisi Pasal 155:
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpang-an terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud ayat 2 berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja.
(4) Pengusaha yang melakukan skorsing se-bagaimana pada ayat 3 wajib membayar upah dan hak-hak lainnya yang biasa diterima buruh selama-lamanya 6 bulan.
Pasal 156
(1)Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, peng-usaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(3) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja 1 tahun, 1 bulan upah dst.
g. masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
h. masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah.
i.masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 kali upah.
(4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah dst.
h. masa kerja 24 tahu atau lebih, 10 bulan upah.
(5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi:
a. dst.
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Kontroversi revisi Pasal 156:
(2) Pekerja/buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah pekerja/buruh yang mendapat upah lebih rendah atau sama dengan satu kali penghasilan tidak kena pajak.
(3) Perhitungan upah pesangon sebagaimana dimaksud ayat 1 paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja lebih dari 3 bulan tapi kurang 1 tahun, 1 bulan upah;
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah dst.
g. masa kerja 6 tahun atau lebih, 7 bulan upah.
(4) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 5 tahun tetapi kurang dari 10 tahun, 2 bulan upah
b. masa kerja 10 tahun tetapi kurang dari 15 tahun, 3 bulan upah dst.
e. masa kerja 25 tahun atau lebih, 6 bulan upah.
(5) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana di maksud ayat 1 meliputi:
a. dst.
c. penggantian perumahan sebesar 10% bagi pekerja/buruh yang mendapatkan fasilitas atau tunjangan perumahan serta penggantian pengobatan dan perawatan sebesar 5% dari uang pesangon/atau uang penghargaan masa kerja bagi pekerja/buruh yang di-PHK yang mendapatkan pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja- terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat, se-bagai berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/ atau milik perusahaan dst. s/d poin j.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/ buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan;
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat pihak berwajib dst.
(Catatan: pasal ini tidak berlaku lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi karena ke-salahan berat tersebut merupakan bagian dari hukum pidana).
Kontroversi revisi Pasal 158:
Kesalahan berat diberlakukan kembali
Pasal 167 (menyangkut kompensasi pensiun):
(1) Pengusaha dapat me-lakukan pemutusan hu-bungan kerja terhadap pe-kerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh peng-usaha dst s/d ayat 5.
Kontroversi revisi Pasal 167:
dalam revisi, pasal ini dicabut.
TOLAK TELAK Pasal 2 Kontroversi dlm UU No.13/2003.
Koran Electronic Suarapembaruan Tgl. 4 April 06; UU tsb diatas di buat oleh Bappenas, Worl Bank dan IMF tanpa menyertai: Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Sekali lagai TOLAK TELAK Pasal 2 Kontroversi
Setiap Tenaga Kerja harus mendapatkan Hak Pensiun sesuai dgn masa kerjanya yg di atur UU yang notabene sudah dipotong dari gaji pegawai setiap bulan (ini sudah terjadi sejak kurun Thn 1998 ke bawah) lihat slip gaji bulanan. Setiap ahir Thn Pegawai/buruh harus mendapat gaji ke 13 sesuai UU yg ada dan mendapatkan gaji 14 (Bonus) apabila perusahaan mendapatkan Laba (keuntungan) (sering sekali tapi tdk pernah di bayar)
Pasal 46 Ayat 1: Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan atau jabatan-jabatan tertentu. Ayat 2: Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Keputusan Menteri.
Revisi: Tidak ada batasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apapun di perusahaan.
Pasal 49: Ketentuan mengenai tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
Revisi: pasal ini dihapus.
Ayat 4 pasal 59 : Perjanjian Kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Revisi: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu batasan maksimum menjadi 5 tahun.
Pasal 65 Ayat 1: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Dalam ayat 1 harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Ayat 2: Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud. Ayat 3: Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
Ayat 4: Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat 5: Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Ayat 6: Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
Ayat 7: Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Ayat 8: Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Ayat 9: Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat.
Revisi: pasal ini dihapus.
Pasal 79 Ayat 2 (d): Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Revisi: pasal ini dihapus.
Pasal 88 Ayat 1: Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Revisi: Pemerintah menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.
Ayat 2: Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Revisi: Upah minimum memperhatikan kemampuan sektor usaha yang paling lemah marjinal.
Catatan:
Ketentuan UU Ketenagakerjaan:
a. Upah minimum ditetapkan di tingkat propinsi dan kabupaten dan dapat pula ditetapkan secara sektoral.
b. Upah minimum ditetapkan berdasarkan total nilai standar Kehidupan Hidup Minimum (LHM) atau Kehidupan Hidup Layak (KHL).
c. Upah minimum disesuaikan tiap tahun.
Rekomendasi Bappenas:
a. Upah minimum ditetapkan di tingkat propinsi dan bukan di tingkat kabupaten.
b. Upah minimum ditetapkan kembali sebagai jaring pengaman sosial atau batas bawah upah.
c. Upah minimum disesuaikan setiap 2 tahun.
Pasal 92 Ayat 1: Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
Revisi: Struktur dan skala upah hanya golongan dan jabatan saja, pendidikan, masa kerja, kompetensi dihapus.
Pasal 142 Ayat 1: Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan adalah mogok kerja tidak sah.
Revisi: Mogok kerja tidak sah dapat di PHK tanpa pesangon.
Ayat 2: Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Revisi: Mogok kerja tidak sah yang mengakibatkan perusahaan rugi pekerja/buruh dapat dituntut ganti rugi.
Untuk Gaji/Pesangon Pegawai/Buruh.
Untuk Pegawai/buruh status Kontrak harus mendapatkan gaji Netto tanpa dipotong pajak.
Sesuai dgn persetujuan bersama setiap Tenaga kerja status Kontrakkerja untuk perpanjangan kontrak (Renewal Contract); SiPegawai/Buruh berhak mendapatkan kenaikan Gaji sesuai dgn professional kerjaannya. Apabila tidak ada persesuaian maka uang Pesangon harus di bayar sesuai dgn uang pensiun yang dipotong setiap bulan dari gaji Netto plus sesuai dgn UU yg ada.
Para Investor di Indonesia tidak pernah di rugikan buruh/Pegawai tapi yang banyak merugikan adalah para koruptor pungutan liar.
Langganan:
Postingan (Atom)